Sabtu, 21 Maret 2009

Menakar Porsi Bahagia, Sabar dan Derita

Menakar Porsi Bahagia, Sabar dan Derita
Oleh : Najullah

Adakalanya kita harus menderita untuk bersabar karena tidak semua yang kita inginkan bisa kita dapatkan. Banyak hal yang harus kita pelajari dan kita pahami dalam kehidupan ini dan hal yang terpenting adalah kita harus paham bahwa tidak selamanya kita berada pada satu titik yang tetap, tidak selamanya kita berada dalam titik kesenangan terus menerus begitu juga tidak selamanya kita menetap pada satu titik penderitaan selamanya. Antara derita dan bahagia bagaikan dua mata keping yang tidak bisa dipisahkan dan mau tidak mau kita pasti berada pada salah satu keping itu secara bergantian.

Ini adalah filosofi yang banyak dikenal orang. Semua orang pasti meyakini dan paham akan hal itu. Tetapi tidak semua orang bisa tulus menghadapinya. Karena sudah menjadi fithrah manusia bahwa kita tidak akan mau berada pada satu titik yang bernama derita. Sebagaimana kita senantiasa mendambakan kebahagiaan meskipun pada hakikatnya untuk mendapatkan kebahagiaan itu seseorang harus menjalani berbagai proses yang sangat melelahkan, yakni proses derita.

Jika Ahmad Albar mengatakan dalam lantunan lagunya bahwa hidup ini adalah panggung sandiwara, saya pikir itu adalah benar adanya dan kita sebagai manusia menjadi pemeran utama dalam sandiwara ini sedangkan mahluk-mahluk lainnya adalah pemeran figuran atau hanya sebagai pelengkap saja. Para figuran itu tidak terlalu dibebani untuk hal pertanggung jawaban karena mereka hanya sebatas pelengkap saja lain halnya dengan manusia yang berperan sebagai pemeran utma, baik buruk sebuah adegan akan diminta pertanggungjawabannya kemudian oleh orang yang mempynyai sekenario. karena dalam setiap adegan yang kita lakukan menuntut keseriusan dalam menjalankan peran kita. Jika demikian adanya maka layakkah kita bermain-main dalam menjalani kehidupan ini karena suatu saat kita akan diminta pertanggung jawabannya.

Pada suatu kesempatan saya melihat sebuah stiker yang menempel di kontrakan teman saya di Serang kebetulan teman saya itu adalah Mahasiswa jadi untuk "mengidentifikasi" bahwa dia adalah aktifis kampus, dia menempelkan seabreg stiker di depan pintu dan jendela rumahnya tentunya stiker-stiker yang berkaitan dengan aktifitasnya sebagai mahasiswa. Di salah satu stiker itu tertulis "masa kecil dimanja, masa muda foya-foya, masa tua bahagia dan mati masuk surga" Sebuah tulisan yang sangat serat dengan nilai "bahagia"dalam menjalani kehidupan, siapa orangnya yang tidak ingin dimanja, siapa orangnya yang tidak ingin bahagia dan siapa orangnya yang tidak ingin masuk surga. Saya pikir orang yang paling jahat sekalipun pada dasarnya ingin merasakan kebahagiaan , hanya saja cara yang ia gunakan bukanlah cara yang tepat untuk mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Ada hal yang tidak bisa kita pungkiri dari kata-kata itu yang terlalu lurus dalam memandang sebuah kehidupan. Dan ini sangat berbahaya kalau tidak disebut menyesatkan jika dipahami oleh orang yang baru memahami (katakan pemula) tentang makna kehidupan. Memandang kehidupan dengan paham seperti ini akan mengakibatkan seseorang jauh dari kehidupn yang sebenarnya karena dalam kamus benaknya tidak ada kata "derita" yang ada dalam benaknya hanya kebahagiaan dan kesenangan. Sedangkan kehidupan itu sendiri adalah renteran dari kebahagiaan dan penderitaan. Orang seperti ini akan menghalalkan segala cara untuk ia lakukan asalkan tujuannya yakni "kebahagiaan" bisa dia dapatkan. Meskipun kebahagiaan yang ia maksud bukanlah kebahagiaan yang sesungguhnya karena sejatinya untuk mendapatkan bahagia yang hakiki seseorang harus bersusah payah terlebih dahulu karena untuk mendapatkanya tidak mudah. Inilah bahaya yang saya maksud. Karena sekuat apapun usaha manusia menjauhkan dirinya dengan penderitaan pasti akan sia-sia, karena penderitaan akan selalu mengintip kita dari balik kebahagiaan entah sekarang, entah esok, entah minggu depan atau mungkin kapan waktunya dia pasti menghampiri kita. Ia senantiasa berusaha menerobos dan menelusup di dalam celah-celah perasaan kita. Bagi orang yang dalam pikiranya tidak mengenal penderitaan maka ketika sang derita itu datang menghamiprinya sedangkan posisi dia dalam keadaan tidak seiap maka tidak mustahil ia akan mengalami shok dan mungkin lebih parah dia bisa setres dan yang lebih memalukan lagi mungkin dia bisa gila. Sebagai efek dari ketidak tahuannya tentang si derita. Lain halnya dengan orang yang sudah mengenal setidaknya ada sedikit persiapan untuk menyongsong kahadiran sang derita tersebeut meskipun kedatangannya kadang-kadang tidak diduga. . walaupun pada kenyataannya tidak sedikit orang yang mempunyai persiapan secara full tetapi toh harus hanyut juga dalam arus penderitaan biasanya orang seperti ini dia rapuh didalam meskipun tampak dari luar dia sangat tegar dan kokoh atau sang derita yang menimpa memang bukan sembarang derita, bisa jadi penderitaannya itu adalah Mbahnya derita yang enggan menghampiri orang yang biasa-biasa saja. Orang yang menurutnya sekali gebrak saja sudah KO. Oleh karenannya dia merasa mempunyai slektifitas yang sangat tinggi untuk memilih orang yang dia anggap sesuai dengan lavelnya, inipun harus kita pahami bahwa sang derita itu berbeda-beda dan sudah pasti mempunyai ragam kualitas yang berbeda pula.

Ada banyak ragam derita yang bertebaran di dalam lorong kehidupan ini, mungkin kita merasa kuat dengan salah satu derita yang pernah menghampiri tetapi belum tentu kuat menghadapi model derita yang lain yang lebih tangguh tentunya. Oleh karenanya persiapan untuk menghadapinya pun harus dibangun berlapis-lapis sebagai antisipasi kalau-kalau sang derita datang dengan segerombolan pasukan yang lengkap dengan senjatanya yang super canggih pula. Bila kita ibaratkan sang bahagia adalah kemenangan maka jangan sekali-kali menganggap sang derita adalah kekalahan justru peperangan yang sebenarnya adalah di saat kita melawan sang derita kemudian bisa menaklukannya maka kebahagiaanlah yang kita peroleh, itung-itung kebahagiaan itu adalah hadiah dari sang derita. Maka berbahagialah bagi orang yang mendapatkan derita karena kalau dia berhasil menempuhinya maka didepannya terbentang samudra kebahagiaan yang menantang.

Banyak orang yang bilang bahwa kita harus sabar dalam menghadapi penderitaan meskipun sang sabar itu sendiri susah untuk kita dapatkan. Dan untuk mendapatkan sabar lagi-lagi kita harus menerjang sang derita sebagai syarat untuk mendapatkan sang bahagia. Oleh karenanya dibutuhkan manajemen sabar yang layak di gunakan secara efektif dan efesien. Jika kita telah mengenal ada banyak ragam derita, maka sang sabar pun tidak berbeda jauh bentuknya, sang sabar banyak mempunyai ragam yang bermacam-macam dan digunakan sesuai dengan efektifitasnya sebagai lawan dari sang derita. Untuk menguasai manajemen sabar yang baik kita harus dihadapkan dengan sang derita karena sekali-kali sang sabar tidak akan muncul jika tidak ada stimulus dari si derita. Bukan maksud saya menyangkal bahwa "sabar itu bukan hanya disaat ada derita, saat bahagiapun ada porsi untuk sabar" ya memang begitu idealnya. Tetapi kita sudah kadung menganggap bahwa sabar itu milik derita, kita sudah terlanjur mengatakan kepada setiap orang yang sedang dilanda derita dengan perkataan "yang sabar aja yah". Ini adalah indikasi bahwa betapa sang sabar itu jauh lebih dikenal bergandengan dengan derita ketimbang dengan bahagia. Untuk persoalan ketika ada derita kita harus sabar memang tidaklah mudah meskipun setiap orang yang datang mengatakan "kamu harus sabar" tetapi realitanya justru kita tidak bisa sabar, setumpuk nasihat dari orang yang datang sepertinya tidak mempan untuk menghalau datanganya derita. Bahkan kadang-kadang semakin banyak nasihat itu datang maka semakin tebal pula derita yang menghantam lantaran setiap kali ada nasihat pastinya mengingatkan kita akan derita itu. Seperti kejadian pada teman saya yang di tinggal mati Ibunya kemudian dia bersedih. Yah sedih yang memang seharusnya. Ketika menjelang 1 hari setelah Ibunya meninggal teman saya itu menghilang entah kemana ternyata selidik punya selidik dia berada di rumah temanya, di tetangga kampung sebelah, mengetahui dia ada di sana lantas saya pergi menemuinya karena dirumahnya banyak tamu yang ingin mengucapkan belasungkawa. Setelah bertemu dengannya saya bertanya kenapa kamu menghilang dari rumah? Dirumahkan banyak tamu yang ingin berbelasungkawa. Dia menjawab saya kabur dari rumah lantaran ingin menghindari tamu. Kenapa kamu ingin menghindari tamu? Bukanya mereka datang untuk berbela sungkawa bukan untuk menagih hutang? Dia menjawab justru karena saya tahu bahwa mereka datang untuk berbelasungkawa makanya saya kabur kesini. Lho memangnya kamu tidak senang dengan orang yang berbelasungkawa atas meninggalnya ibu kamu? Bukan begitu bro justru saya bertambah sedih setiap kali orang yang datang berbelasungkawa pasti menasehati saya agar bersabar, dengan nsihat itu bukannya saya bisa sabar malah saya sedih lantaran keingatan ibu saya. kalau satu orang saja menasehati saya mengakibatkan sedih selama 4 jam bagaimana jika yang menasihati saya ada lima puluh orang. Bagaimana jika yang datang itu seriap 4 jam sekali. Kamu bisa bayangkan kesedihan saya seperti apa. Makanya saya enggan menemui mereka.

Mungkin ada baiknya kita porsikan dalam ruang nurani kita untuk sedikit pelit memberikan nasihat kepada orang lain, dengan begini setidaknya kita tidak terlalu ikut-ikutan setres atas derita yang menimpa orang lain, kalau kita meyakini bahwa Tuhan tidak memberikan musibah kepada seseorang di luar batas kemampuannya, maka sudah selayaknya Tuhan pula yang menentukan apakah seseorang itu bisa sabar atau tidak. Sebagai salah satu mahluk Tuhan yang mengidentifikasikan diri sebagai mahluk sosial tentunya keinginan untuk saling menasihati akan selalu muncul mana kala melihat mahluk yang satu spesies dengan kita sedang di landa derita. Tetapi untuk memberikan nasihat itu kita harus pandai menakar porsi yang sesuai.

Ahirnya betapapun kesabaran itu dibutuhkan untuk merubah derita menjadi bahagia tetapi realitanya kadang sang bahagia justru datang dengan seketika tidak menunggu sang sabar menjemputnya meskipun demikian sebagai manusia bijak kita harus membuat tiga porsi , satu porsi untuk sang bahagia, satu porsi untuk sang sabar dan satu porsi untuk sang derita ketiga porsi itu mutlak kita sediakan agar tidak ada kecemburuan sosial diantara perasaan kita yang mengakibatkan terjadinya perang perasaan yang sudah barang tentu akan menimbulkan kesengsaraan. Ketiga porsi itu harus saling adil satu sama lainnya meskipun kita kerap kali memberikan porsi lebih sedikit terhadap sang derita dan sang sabar kita lebih banyak memberikan porsi untuk sang bahagia. Jika memang bentuk adilnya seperti itu, ya kenapa tidak, tergantung lebih efektif dan efesiennya saja disesuaikan dengan keadaan yang lebih jauh membutuhkan porsi yang mana dari ketiganya.